Terorisme adalah salah satu ancaman terbesar bagi semua orang yang tinggal di bumi. Ekstrimisme berkedok agama berkali-kali menelan korban tak bersalah. Sebut saja Serangan 9/11 yang terjadi 17 tahun lalu di beberapa kota besar Amerika Serikat. Sampai hari ini, rekaman runtuhnya menara kembar World Trade Center (WTC) di New York masih juga membikin ngeri.
Ekstrimisme agama bukannya tahu-tahu ada. Ia lahir dari sebab-sebab. Namun kata kuncinya bisa dipilih satu: misinterpretasi. Mulai dari misinterpretasi dari agama yang dianut, ajaran-ajaran di dalamnya, hingga hakikat dari relijiusitas itu sendiri.
Yang paling fatal, tentu saja, adalah misinterpretasi atas konsep jihad. Ajaran Islam yang oleh para ekstrimis salah kaprah di-sama-dengan-kan aksi bom bunuh diri di tempat umum, penembakan massal, penghancuran bangunan, dan perang melawan orang kafir. Nyawa orang mereka ambil seenaknya.
Soal ini, Peneliti dari Universiti Teknologi Malaysia bernama Mansoureh Ebrahimi Ph.D. mencoba menawarkan solusi lewat sebuah prinsip yang disebut “wasatiyyah”. Yakni cara hidup yang seimbang, dengan moderasi, secukupnya, dan menjauhkan diri dari hal-hal ekstrim.
“Cara hidup yang seimbang menghasilkan komunitas yang seimbang. Dapat berkaca dari sejarah Islam, Yahudi, dan Kristen, yang dahulu hidup damai di Andalusia,” jelasnya pada acara Jakarta International Conference on Social Sciences and Humanities (JICoSSH) 2018 di Jakarta Kamis (15/11) lalu. bitcoin bookiessites
Menurutnya, pemahaman atas konsep jihad harus diselaraskan dengan jalan hidup wasatiyyah. Dalam pengertian ini, jihad dimaknai sebagai sikap sungguh-sungguh dan kerja keras dalam segala aktivitas manusia. “Berjuang untuk Allah, bukan bertengkar dengan orang lain,” kata Mansoureh.
Mansoureh menilai kelompok ekstrimis sengaja melupakan ajaran wasatiyyah untuk membungkam segala macam wacana politik. Agar tidak terjadi perselisihan pendapat di kalangan sendiri, mereka “memperbodoh diri” dengan pura-pura tidak tahu ajaran wasatiyyah. “Mereka meminggirkan implementasi dari Islam yang sebenarnya,” ungkapnya.
Sebagai jalan yang membawa kepada lahirnya harmoni antar-agama, ide wasatiyyah harus disebarluaskan. Buku-buku dan jurnal-jurnal harus ditulis, forum-forum diskusi juga harus digelar.
Kedatangan Mansoureh ke konferensi internasional JICoSSH 2018 pun adalah salah satu upaya mengkampanyekan ide ini. Jauh-jauh ia datang ke Jakarta, tak lain adalah demi menciptakan harmoni di dunia yang berselisih melulu ini. Mengutip perkataannya, “Wasatiyyah adalah jalan tengah menuju keharmonisan dunia.” (M. Berlian)