FisipUPNVJ–Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta kembali menyelenggarakan Seminar Pentahelix bertajuk “Refleksi 10 Tahun Paris Agreement 2015-2025: Capaian dan Tantangan Kontribusi Indonesia dalam Perubahan Iklim” pada hari Rabu, 12 November 2025. Acara ini berlangsung di Ruang Auditorium Gedung Dr. Wahidin Sudiro Husodo, Fakultas Kedokteran, kampus UPNVJ, serta dihadiri oleh jajaran dosen dan mahasiswa yang antusias.

Acara dibuka oleh Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama FISIP, Musa Maliki Ph.D, yang menekankan pentingnya Seminar Pentahelix ini dalam membahas Paris Agreement melalui berbagai macam perspektif ahli dari sektor pemerintah, NGO, akademisi, media, serta dunia usaha. Acara ini juga turut di hadiri oleh Dr. Azwar, selaku Wakil Bidang Akademik FISIP.

“Capaian dan tantangan sektor lingkungan yang Indonesia hadapi dalam satu dekade terakhir marupakan isu yang sangat penting untuk dikaji melalui multi perspektif. Dengan kehadiran narasumber kompeten pada hari ini, dapat memberikan pengetahuan bagi kita semua mengenai posisi dan komitmen negara meratifikasi Paris Agreement.” Ucap Musa.

Sesuai dengan namanya, seminar pentahelix ini menghadirkan narasumber dari pihak pemerintah, akademisi, dunia usaha, komunitas masyarakat, serta media. Dari pemerintah, dihadiri oleh Franky Zamzani, S.Hut., M.Env., Direktur Adaptasi Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, dan Achmad Syachrully Bachri, S.Kom., Penelaah Teknis Kebijakan Pada Seksi Masyarakat dan Pelayanan Kecamatan Cinere Kota Depok. Dari dunia usaha juga dihadiri oleh Ir. Mohamad Bawazeer, IPU., Presdir PT. Indrillco Group dan dari komunitas masyarakat, yakni Boy Jerry Evan Sembiring, S.H., M.H., Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Turut hadir dari media, yaitu Ilham Safutra, Wakil Pimpinan Redaksi Jawapos, dan Sapariah Saturi, Redaktur Pelaksana Mongabay Indonesia. Terakhir, dari akademisi, yaitu Dr. Hartanto, Dosen Hubungan Internasional, UPN Veteran Jakarta.

Franky yang hadir melalui Zoom disela-sela kegiatan COP 30 Belem, Brazil, memaparkan Capaian dan Tantangan Indonesia dalam Enhanced NDC (2025-2020). Paris Agreement utamanya memiliki tujuan ambisius untuk membatasi kenaikan suhu sebesar 1.5 derajat celcius atau sebanyak-banyaknya 2 derajat celcius. Namun, diprediksi hingga 2030, akan ada kenaikan sebesar 2.5 – 2.7 derajat celcius. Kondisi ini besar dipengaruhi oleh transisi energi yang timpang di antara negara berkembang dan negara maju, padahal, agreement hanya akan berhasil jika dilaksanakan bersama-sama oleh semua negara. “Mengingat bahwa dampak lingkungan yang terjadi pasti akan dirasakan oleh semua negara, seperti cuaca ekstrim, heat wave, dan utamanya kenaikan permukaan air laut yang mengancam negara-negara kepulauan.” Jelas Franky.

Achmad sebagai perwakilan pemerintah yang sangat dengan masarakat, memaparkan penanggulangan isu lingkungan secara spesifik di Kota Depok. Pemerintah Kota Depok, salah satunya membuat membuat proyek “Rumah Budidaya Maggot” di kelurahan Pengakalan Jati Baru dengan pembiayaan penuh dari Pemerintah Kota. “Ada banyak lainnya kegiatan pro lingkungan yang dijalankan oleh Kecamatan Cinere, Depok, sepeti halnya pembelian minyak jelantah dari masyarakat, urban farming, dan sebagainya” Tutur Achmad.

Mohammad dalam pemaparannya menambahkan perspektif dari bisnis karbon yang terjadi saat ini di Indonesia oleh banyak pelaku usaha. Sulit melepaskan ketergantungan terhadap energi fosil bagi negara mupun pelaku usaha. Hal ini besar dipengaruhi oleh biaya transisi energi yang tidak murah. Ada pula negara yang tidak meratifikasi Paris Agreement, seperti halnya negara-negara teluk, karena bisnis utama yang menopang ekonomi negara adalah perusahaan energi fosil. Namun, negara-negara teluk tetap menunjukkan itikad baiknya dalam transisi energi, salah satunya dengan pengembangan solar energy dan geothermal. “Di Indonesia, transisi energi juga terkadang mengalama beberapa tantangan, seperti halnya penolakan masyarkat dalam pembangunan PLTN di beberapa kota.” Jelas Mohammad.

Hartanto memperkaya materi ini melalui perspektif global, bahwa terdapat kondisi yang bertolak belakang antara dua negara superpower saat ini, yakni Amerika Serikat dan Tiongkok. Amerika Serikat contohnya, bisa menurunkan penggunaan energi batu bara, sedangkan Tiongkok dalam praktiknya semakin banyak menggunakan energi tersebut. Sebagai global governance, Paris Agreement sudah ditandatangani oleh banyak negara, namun banyak negara juga yang belum menyerahkan laporan NDC, atau bahkan tidak mau meratifikasi perjanjian ini. Kondisi ini tergambar melalui adanya gap yang besar dalam program implementasi karena ambisi perjanjian bertolak belakang dengan realita dan ambisi politik yang ada. Saran yang disuguhkan oleh Hartanto yakni, “Mainstreaming nature-based solution dan hentikan ambiguitas kebijakan lingkungan di Indonesia.

Boy kemudian menambahkan melalui pandangannya dari perspektif NGO mengenai peran masyarakat sipil dalam komitmen iklim di Indonesia. Dalam beberapa kasus, pemerintah sering kali melaksanakan kebijakan yang tidak selaras dengan tujuan dari Paris Agreement. Sehingga, masyarakat menuntut adanya pembentukan UU Keadilan Iklim, utamanya tentang hak-hak sipil, daripada angka-angka dalam laporan lingkungan yang disediakan oleh pemerintah. “Masyarakat perlu untuk diikutkan dalam setiap pengambilan keputusan dalam isu lingkungan, karena dampak dari degradasi lingkungan yang terjadi kedepannya akan dirasakan langsung oleh masyarakat sekitar.” Terang Boy.

Sapariah turut memperkaya perspektif dari sektor media, melalui penekankan terhadap kurangnya diseminasi isu lingkungan dalam masyarakat di Indonesia. Strategi dalam menjelaskan kepada masyarakat dan pelaku usaha kecil dan menengah di tingkat grassroots umumnya menggunakan bahasa yang tidak efektif dan kurang bisa dipahami secara kontekstual oleh masyarakat umum, seperti pada masyarakat pesisir. “’Berita yang membumi’ merupakan strategi yang ditawarkan kami untuk diadaptasi oleh pemerintah, NGO, akademisi, dan media, dalam upaya untuk meningkatkan pehaman masyarakat luas atas isu lingkungan.” Ucap Sapariah.

Terakhir, Ilham memperkaya perspektif dari pelaku media, dengan menyoroti masalah lingkungan yang paling dekat dengan masyarakat, yaitu masalah sampah. Pelaku kerusakaan pada hakikatnya adalah semua pihak, baik masyarakat, pelaku usaha, serta pemerintah, yang sama-sama mengambil andil. Pemerintah sering kali baru hadir dalam masalah lingkungan ketika bencana lingkungan sudah terjadi. “Pemerintah banyak hadir dalam upaya mitigasi, padahal harusnya pemerintah bisa mencegah bencana lingkungan dengan cara melakukan langkah-langkah adaptasi” Tegas Ilham.

Seminar yang di moderatori oleh Hartika Arbiyanti, S.S., M.Si., berjalan dengan lancar. Perspektif yang disajikan oleh para narasumber dari pemerintah, NGO, akademisi, media, dan pelaku usaha, menyajikan informasi yang luas dan mendalam bagi peserta seminar mengenai isu lingkungan, Paris Agreement sebagai global governance, dan fakta-fakta lapangan yang menarik untuk bisa tersampaikan kepada para pemangku jabatan di Indonesia.

Melalui acara seminar pentahelix ini, FISIP UPNVJ terus berkomitmen untuk terus menghadirkan kegiatan yang melibatkan banyak stakeholders dan meningkatkan kerjasama untuk menciptakan iklim akademik yang positif bagi seluruh sivitas akademika di UPNVJ.

Tags:
× Hubungi Kami