Sekretaris Jenderal Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Gunawan Suswantoro, menilai bahwa pemilihan umum bukan sekadar ajang populisme. Menurutnya, pemilu merupakan wujud dari proses demokratisasi di Indonesia.
“Populisme menampakkan diri seolah-olah demokratis, padahal memberi pendidikan politik yang negatif,” katanya pada Kamis (15/11) di acara Jakarta International Conference on Social Sciences and Humanities (JICoSSH) 2018.
Fenomena ini dipicu dengan siasat politik yang menitikberatkan identitas golongan atau kelompok. Dalam kontes elektoral, hadirnya calon pemimpin yang lekat asosiasinya dengan kelompok tertentu dinilai sebagai wujud eksistensi dari kelompok tersebut.
“Pemilu tidak hanya untuk memilih orang-orang terbaik, tapi juga menunjukkan eksistensi,” jelas Gunawan.
Penggunaan identitas dalam kontes elektoral kerap terjadi sejak Pemilu 2014 lalu. Menurut Gunawan, strategi ini dipakai karena partai politik ingin mempersonifikasi diri. “Parpol tidak bisa eksis, jadi muncul figur-figur yang mengumpulkan suara,” ujarnya.
Negatifnya lagi, populisme semacam ini tidak berhenti pada pemanfaatan identitas saja, tapi juga menambahkan kampanye ketakutan. Yaitu dengan mengembuskan isu-isu bahwa lawan politiknya tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik jika terpilih nanti. “Menurut saya ini bisa menjadi bom waktu nasionalisme,” tutur Gunawan.
Gunawan berpendapat bahwa partai politik seharusnya menunjukkan ideologi yang jelas. Sehingga, masyarakat dapat memilih sesuai dengan ideologi terbaik menurut penilaiannya. Bukan karena kesamaan identitas. “Parpol tidak punya basis ideologis [membuat] masyarakat memilih dengan sangat pragmatis,” katanya. (M. Berlian)