FISIP UPNVJ – Pada hari Sabtu (2/5/2020) lembaga survey INDODATA mengadakan webinar yang mengangkat tema “Survey Politik Dan Pilkada Di Tengah Pandemi Covid-19”. Dengan adanya rencana bahwa penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) akan diundur pelaksanaannya di tanggal 9 Desember 2020, banyak pihak yang menilai pro dan kontra. Hal ini dikarenakan proses pilkada merupakan hal yang rumit dan membutuhkan waktu yang cukup, tidak bisa dikerjakan tergesa-gesa agar pemilu dapat melahirkan sosok pemimpin yang berkualitas, bukan hanya pemimpin yang dipilih karena money politic saja.

Sebelumnya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sempat mengajukan tiga opsi terkait waktu pelaksanaan pilkada, yakni opsi pertama di tanggal 9 Desember 2020, opsi kedua di tanggal 17 Maret 2020, dan opsi ketiga di tanggal 29 Desember 2020. Dengan dipilihnya opsi pertama oleh pemerintah, maka seharusnya tahapan pemilu sudah bisa dimulai tanggal 30 Mei 2020. Jika melihat kondisi saat ini dimana pandemic covid-19 masih menunjukan eksistensinya dan mengakibatkan banyak korban jiwa, tentu bukan hal yang mudah bagi masyarakat untuk membagi fokusnya antara pencegahan covid-19 dan pilkada.

Anggota Bawaslu Jakarta Selatan Ardhana Ulfa Aziz menyampaikan bahwa untuk menguatkan pengunduran waktu pilkada, pemerintah membutuhkan payung hukum yang berupa perppu. Dalam perppu ini nantinya berisi tentang penundaan pemungutan suara, penyederhanaan mekanisme, dan sebagai bukti legalitas penyelenggaraan pilkada yang ditunda. Selain itu, jika penyelenggaraan pilkada jadi di tanggal 9 Desember 2020, Pemerintah harus menyiapkan penambahan anggaran untuk mendukung kelengkapan keamanan pencegahan covid-19. “Masyarakat kan masih harus jaga jarak satu sama lain, jadi waktu pemilihan pun akan menjadi lebih lama, kita juga butuh tambahan TPS, efeknya akan menambah SDM untuk mendukung pelaksanaan pilkada, dan jika perlu bisa ditambahkan tenaga medis juga”, ungkap Ardhana dalam webinar tersebut.

Dosen Hubungan Internasional FISIP UPNVJ Rizki Hikmawan yang juga menjadi narasumber dalam webinar tersebut setuju dengan pernyataan Prof. Djohermansyah yang mengatakan bahwa pilkada 2020 tidak realistis, hal ini karena dikhawatirkan tingkat kritis masyarakat terhadap pilkada menurun. “Pilkada yang baik bukan melihat dari jumlah pemilihnya saja, namun juga dilihat dari proses pelaksanaan, pegawasan, sampai pasca pemungutan suara. Jika tetap diadakan pada tahun ini, pilkada harus diselenggarakan dengan memperhatikan keselamatan masyarakat.” Kata Rizki yang juga aktif sebagai Peneliti Berdaya Institue Of Strategic Affairs (BISA!).

Pendapat yang sama dituturkan oleh Direktur Eksekutif IPR Dr. Ujang Komarudin, menurutnya dimasa pandemi saat ini sangat rawan calon kandidat akan melakukan money politic. Kesempatan untuk menggalang calon pemilih akan lebih mudah karena banyak masyarakat yang akan bergantung pada siapa saja yang memberinya uang. “Pilkada yang baik adalah pilkada yang dapat menghasilkan pemimpin yang baik dan berprestasi, sehingga daerah yang dipimpinnya akan maju. Sedangan pilkada yang sekaran banyak menghasilkan pemimpin daerah yang oligarki karena mengandalkan money politic dan bukan skill, sehingga daerahnya tidak berkembang.” Tutur Dr. Ujang.

Direktur Eksekutif INDODATA Danis T.S Wahidin sekaligus Dosen Ilmu Politik FISI{ UPNVJ yang menjadi salah satu pembicara dalam webinar tersebut juga menyampaikan pendapatnya, “Jika pilkada terus ditunda maka akan menjadi permasalahan dan beban bagi penyelenggara. KPU, Bawaslu, dan lembaga survey harus menyiapkan strattegi terbaik dalam penyelenggaraan pilkada dengan kondisi sepert saat ini. Kita juga harus menanamkan optimisme dan terus berpikir maju untuk mengatasi hambatan-hambatan pilkada yang terjadi demi kebaikan negara ini.”

× Hubungi Kami