
FisipUPNVJ – Program Studi Hubungan Internasional FISIP Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta menggelar Seminar Nasional Bela Negara bertajuk “Ilmu Hubungan Internasional Indonesia: Memikirkan Kembali Perspektif HI (di) Indonesia” pada Kamis, 25 September 2025.
Acara ini menjadi ruang refleksi dan diskusi akademisi teoritis mengenai masih adanya dominasi tradisi Barat dalam kajian HI dan sejauh mana peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan perspektif yang berakar pada kepentingan nasional, kearifan lokal, dan pengalaman politiknya sendiri.
Seminar dibuka oleh Koordinator Program Studi HI UPNVJ, Wiwiek Rukmi Dwi Astuti, S.IP., M.Si., yang menekankan pentingnya menulis sebagai cara melawan narasi dominan dan menegaskan eksistensi dalam percaturan keilmuan global.
Menurutnya, momentum ini menjadi langkah penting untuk memikirkan kembali posisi Indonesia dalam konstruksi pengetahuan HI yang selama ini banyak ditentukan oleh kerangka Barat.
Sebagai pemantik diskusi, Musa Maliki, Ph.D., Wakil Dekan III FISIP UPNVJ sekaligus editor utama buku “Ilmu Hubungan Internasional Indonesia”, menyoroti kecenderungan studi HI di Indonesia yang masih berorientasi pada teori Barat. Ia mengingatkan bahwa teori Barat bisa jadi tetap bermanfaat sebagai alat (tools) analisis, tetapi harus ditempatkan dalam konteks kepentingan nasional Indonesia.
Musa juga mendorong peluang integrasi pengetahuan HI antara tradisi teori Barat dan konsep lokal Indonesia untuk melahirkan worldview alternatif yang khas.
Pandangan serupa disampaikan Emilia Yustiningrum, Ph.D. (BRIN) yang menilai Indonesia sebenarnya memiliki beragam perspektif untuk kajian HI, meski dominasi teori Barat masih kuat. Utamanya, suara Indonesia harus mengglobal mewarnai akademisi Barat. Ia memunculkan pertanyaan reflektif: apakah kajian HI di Indonesia sudah mulai membentuk corak khasnya sendiri?
Dari Universitas Indonesia, Shofwan Al Banna Choiruzzad, Ph.D., menegaskan bahwa suara Indonesia dalam diskursus HI kini semakin relevan di tengah dinamika global. Walaupun pembungkaman epistemik terjadi. Teoriritisasi HI Indonesia baru di level kehendak. Ia mengatakan perlunya intensitas diskusi komunitas HI sehingga terjadi reproduksi tradisi teoritisasi HI Indonesia.
Kehendak HI Indonesia diantaranya esensialisme (memberikan standar baku HI Indonesia), pragmatisme (untuk kepentingan seorang akademisi semata), dan dekolonisasi (ghiroh, semangat perjuangan melawan imperialism epistemic). Agar kajian HI keluar dari disiplin imperial, maka penting akademisi HI mendekatkan problem yang memang dari kita sendiri dan untuk kepentingan kita sendiri, bukan kepentingan bangsa Barat.
Sementara itu, Afrimadona selaku dosen HI UPNVJ menekankan pentingnya membangun tradisi keilmuan yang lahir dari semangat kolektif, mencontohkan English School di Inggris yang berawal dari forum diskusi rutin hingga diakui sebagai teori besar. Ia mendorong pembentukan kluster diskusi serupa, misalnya berbasis gagasan Pancasila, untuk menghasilkan proposisi teoritik yang dapat diakui internasional.
Ia menekankan bahwa teori Barat yang sudah mapan penting untuk dipakai karena aspek sudah teruji, relevan menjelaskan fenomena dan menghindari parokialisme keilmuan. Namun Ia tetap menekankan daya kritis dan selektif dalam menggunakan teori HI Barat karena tidak semua teori Barat dapat ‘menjelaskan’ semua masalah dan memberi solusinya.
Dalam sesi dialog, mahasiswa dari berbagai angkatan mengajukan pertanyaan kritis seputar tantangan pengembangan teori HI khas Indonesia, mulai dari prinsip Pancasila yang tidak hadir di dunia nyata politik luar negeri Indonesia hingga keterbatasan pendanaan riset.
Muhammad, mahasiswa S3 asal Indonesia yang kini studi di China, menambahkan perspektif perbandingan dengan menyebut bahwa akademisi di China masih memperdebatkan arah pengembangan teori HI, antara adaptasi teori global, penggabungan dengan konsep lokal, atau penciptaan teori baru sepenuhnya dari Cina.
Seminar hybrid ini memperlihatkan tumbuhnya kesadaran kritis di kalangan akademisi untuk memperkuat peran Indonesia dalam kancah dunia akademik internasional. Narasi dan teori alternatif berbasis pengalaman Indonesia diyakini tidak hanya memperkaya keilmuan nasional, tetapi juga berkontribusi pada wacana global yang selama ini masih didominasi oleh Barat.
