FISIP UPNVJ – Hasil Pemilu Parlemen Eropa yang berlangsung pada 23-26 Mei 2019 ternyata memiliki dampak bagi Indonesia. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan suara Partai Hijau (The Greeens) secara signifikan. Kendatipun tidak menjadi mayoritas, tetapi jumlah anggota Partai Hijau dapat mempengaruhi berbagai kebijakan Parlemen. Tidak mengherankan jika para pengamat menyebut Partai Hijau sebagai pemenang sesungguhnya dalam Pemilu Parlemen Eropa edisi ke-9.

Kemenangan Partai Hijau tersebut ditengarai akan membuat Isu lingkungan dan energi menjadi variabel bagi kesepakatan yang hendak diambil oleh Uni Eropa (UE), termasuk dalam sektor perdagangan. Tentu saja, hasil ini akan berdampak bagi Indonesia, terutama terkait kebijakan UE untuk menghapuskan impor sawit di tahun 2024 yang telah menjadi penyebab kerenggangan hubungan antara kedua pihak dalam beberapa tahun terakhir.

Untuk mendiskusikan lebih lanjut mengenai Hasil Pemilu Parlemen dan dampaknya terhadap Indonesia, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kawasan (P2K2) Amerika dan Eropa Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menyelenggarakan Forum Kajian Kebijakan Luar Negeri (FKKLN). Kegiatan tersebut telah diselenggarakan di Universitas Tanjungpura (Untan), Pontianak, Kalimantan Barat, pada 20 September 2019. Acara tersebut dibuka oleh sambutan Rektor Untan, Prof. Dr. Garuda Wiko, SH., M.Si dan Kepala P2K2 Amerika dan Eropa BPPK Kemlu, Bapak Ben Perkasa Drajat.

narsum_pak_rizky_2.JPG

Tampil sebagai salah satu narasumber adalah dosen Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ), Rizky Hikmawan, S.IP., M.Si. Selain Rizky, turut hadir sebagai narasumber Direktur Kerjasama Intra Kawasan dan Antar Kawasan Amerika dan Eropa Kemlu, Bapak Masni Eriza, Peneliti Centre of Strategic and International Studies (CSIS), Andrew Wiguna Mantong, S.Sos., M.Sc., dan Dosen Hubungan Internasional Untan, Dr. Ira Patriani, M.Si. Forum sendiri dipandu oleh Ketua Program Studi Hubungan Internasional Untan, Ully Nuzulian, S.IP., M.Si.

Dalam forum tersebut, Rizky menyatakan pentingnya membangun kesadaran ekologis untuk memahami apa yang diinginkan oleh Eropa kepada Indonesia terkait sawit. Artinya, pengelolaan sawit ke depan tidak hanya mengedepankan aspek bisnis semata, melainkan juga penghargaan terhadap lingkungan, hak asasi manusia, dan pembangunan berkelanjutan.

Selain itu, dosen pengampu mata kuliah Hubungan Internasional di Eropa tersebut juga menekankan perlunya kerjasama dari setiap stakeholder sawit agar mampu menghasilkan kebijakan satu suara. Kebijakan satu suara inilah yang akan memudahkan para diplomat untuk mempengaruhi UE agar bersedia merevisi kebijakan yang telah diambil dan menerima sawit sebagai alternatif energi terbarukan yang ramah lingkungan.

Upaya kerjasama tersebut, lanjut Rizky, dapat menggunakan skema Quintuple Helix yang meliputi lima unsur, yaitu: (1) sistem pendidikan dimana universitas memproduksi ilmu pengetahuan yang menjadi dasar bagi inovasi dan kebijakan; (2) sistem ekonomi yang menjadi basis penyelenggaraan inovasi tepat guna; (3) lingkungan alam yang menjadi sumber daya; (4) masyarakat yang berbasis media dan budaya; (5) sistem politik yang membuat regulasi-regulasi yang mendukung terselenggaranya inovasi dan kebijakan.

Namun di balik skema yang ditawarkan, Rizky juga mencatat beberapa tantangan yang dapat menjadi faktor penghambat kerjasama, yaitu: adanya partikularisasi kepentingan para stakeholder, political will pemerintah untuk menyelesaikan masalah, peran akademsi/peneliti yang terbatas, dan kapan kerjasama akan dilaksanakan.

× Hubungi Kami