FisipUPNVJ – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset (PR) Kewilayahan, Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) melakukan penelitian di kawasan-kawasan yang berada di dalam dan luar Indonesia. Salah satu penelitian tersebut yakni terkait dampak perubahan iklim yang paling dirasakan oleh kalangan bawah (negara – negara berkembang), bahkan menjadi indeks negara-negara yang paling tinggi polusinya. Hal ini berbanding lurus dengan data yang ada.
Kajian perubahan iklim memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang ada di Indonesia. Negara Rusia bisa menjadi contoh dalam membantu mengurangi perubahan iklim dan menjadi strategis untuk dipelajari. Hal tersebut disampaikan Ketua Tim Kajian Rusia, Eropa Timur dan Negara Eks Uni Soviet, Albert Muhammad dalam acara webinar yang membahas tentang media dan perubahan iklim di Rusia, Rabu (25/10).
Peneliti PR Kewilayah BRIN tersebut mengutarakan, Rusia melakukan himbauan atau sosialisasi kepada masyarakat di level keluarga, sejak anak masih kecil. Misalnya, himbauan membuang sampah pada tempatnya, dan lain-lain. Himbauan sudah menjadi budaya dan juga tidak sekadar informasi yang ditempelkan di tempat umum. Akan tetapi, hal ini sudah menjadi perilaku yang mengakar sejak usia dini.
Albert memberi contoh tata cara makan bagi orang Rusia yang tidak merepotkan. ”Mereka makan pisang dan timun satu atau tomat dan apel saja sudah dianggap makan, jadi cukup sederhana,” ucapnya.
Contoh lain, terkait transportasi di Rusia, jalan kaki untuk menempuh perjalanan jarak dekat sudah menjadi budaya. Sedangkan untuk jarak yang jauh menggunakan transportasi umum yang didukung alat transportasi selama 24 jam. Rusia merupakan negara yang relatif aman, tidak ada kejahatan seperti penodongan, dan lain-lain. Bahkan, lanjut Albert, ketika terdampak perang atau konflik terhadap lingkungan ataupun bangunan, Rusia menanggung semua kerusakan apapun.
Sementara itu, Munadhil Abdul Muqsith, Staf Pengajar atau Dosen UPN Veteran Jakarta mengutarakan isu perubahan iklim kini menjadi ancaman yang serius. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara barat. Mereka mendorong kebijakan-kebijakan tentang wilayah/ daerah hijau.
Munadhil mengatakan, bagi Rusia, aksi mitigasi terhadap perubahan iklim sudah menjadi agenda yang serius. Di mana ada pertemuan-pertemuan untuk menggagas hal tersebut. ”Pertemuan tersebut bisa memberikan solusi untuk mengatasi pembakaran hutan, pembalakan liar, perburuan hewan yang hampir punah, serta penggunaan CO2 berlebihan yang berimplikasi pada apa yang sudah kita rasakan,” ungkapnya.
Lebih lanjut Munadhil berpendapat ada tiga isu penting saat ini, di antaranya perubahan iklim, konflik/operasi khusus, dan yang cukup menghebohkan yaitu krisis berkepanjangan di jalur Gaza konflik antar Palestina dan Israel (ini menjadi pemicu konflik baru). Ketiga isu tersebut menurutnya menjadi suatu ancaman yang serius. Hal itu diperlukan kolaborasi internasional untuk mencari solusi permasalahan tersebut.
Perubahan iklim merupakan akibat penggunaan/ konsumsi bahan bakar fosil yang belum terbarukan. Hal ini dampak dari rumah kaca yang membuat panas di bumi.
Munadhil berpendapat, perubahan iklim ini dapat mempengaruhi ozon. Hal tersebut dari hasil aktivitas manusia itu sendiri. Ia menggambarkan, bagaimana planet bumi ini berubah karena aktivitas yang menyebabkan keseimbangan alam berubah. Perdebatan terjadi antara pembangunan dengan kebijakan, di mana pembangunan dan kebijakan atau keberlanjutan kehidupan manusia harus seimbang. Perubahan iklim di bumi ini sejak pro industri itu sendiri semakin meningkat, di mana manusia membuat barang-barang secara masal yang secara tidak disadari mempercepat perubahan iklim itu terjadi.
Terhadap hal itu, Munadhil mengungkapkan suatu konsep yang paling tidak dapat mengurangi dampak perubahan iklim.
Pemikiran tersebut yakni dengan mengubah perilaku konsumsi. Namun, tantangannya cukup besar, di mana negara-negara besar yang mempunyai bisnis batu bara dan lain-lain dapat terganggu. ”Ini butuh kolaborasi yang sangat kompleks antara pemerintah dan dunia bisnis. Adaptasi manusia terhadap perubahan iklim ini juga perlu dikaji,” tuturnya.
Lalu, perubahan suhu yang semakin panas juga ditunjukkan dari bagaimana manusia bertransformasi di bidang transportasi yang masih menggunakan bahan bakar fosil. ”Maka kalau bisa dioptimalkan pengaturan transportasi dari pembuangan bahan bakar yang tidak perlu, dan juga tidak perlu memaksakan tranportasi listrik yang belum optimal,” jelasnya. Sebab, tidak mudah bagi suatu negara mengalihkan penggunaan transportasi berbahan bakar fosil dengan menggunakan transportasi listrik.
Disimpulkannya, manajemen transportasi memang perlu dilakukan di dalam isu perubahan iklim, agar penggunaan transportasi pada suatu negara berjalan efektif dan efisien. ”Dengan manajemen transportasi publik yang baik, maka akan lebih nyaman dan aman karena alat transportasinya sudah terintegrasi dengan sarana publik lainnya,” pungkasnya. (suhe/ ed: aps)