FisipUPNVJ – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UPN Veteran Jakarta, menggelar nonton bersama dan diskusi film “Tanah Moyangku” yang diproduksi oleh Watchdoc Indonesia, Selasa (19/12/2023). Tema film dokumenter ini terkait dengan sektor agraria yang belakangan menuai banyak konflik di Indonesia.
Diskusi yang berlangsung di Laboratorium Diplomasi, FISIP, UPN Veteran Jakarta berlangsung sangat dinamis. Bukan hanya diikuti oleh kalangan mahasiswa saja, namun para dosen juga antusias dalam mengikuti jalannya diskusi film. Hadir sutradara Film “Tanah Moyangku”, Edy Purwanto yang turut memberi cerita di balik pembuatan film tersebut.
Ide film ini muncul atas dasar temuan-temuan periset asal Belanda, Ward Berenschot, juga oleh Ahmad Dhianulhaq, Afrizal dan Otto Hospes. Hasil penelitian itu terangkum dalam buku berjudul “Kehampaan Hak: Masyarakat Vs Perusahaan Sawit di Indonesia”. Selain itu, juga didukung oleh hasil riset guru besar sosiolog Universitas Andalas, Prof. Afrizal.
Konflik dalam film ini banyak memotret peristiwa yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan. Lahan masyarakat adat tidak diakui sebagai lahan mereka, kendati tidak memiliki bukti resmi kepemilikan lahan, atau sertifikat tanah. “Konflik agraria di Indonesia sudah berlangsung sangat lama. Bahkan ketika film ini akan dirilis, konflik-konflik baru justru mencuat, seperti kasus Rempang,” terang Edy, Selasa (19/12/2023).
Pada titik itu, tim pembuat film dokumenter harus mengambil sikap untuk berani mengorbankan beberapa bagian film. “Kita juga harus pikirkan, berapa banyak durasi film ini. Jika terlalu lama atau panjang, tentu menjadi tidak menarik,” imbuhnya.
Dalam kesempatan itu, forum diskusi juga turut bertanya tentang sudut pandang pemerintah dalam film ini, pemilihan narasumber utama, dan tantangan-tantangan yang dihadapi selama proses memproduksi film. Dosen Ilmu Komunikasi FISIP, UPN Veteran Jakarta, Firdaus Noor juga menanyakan ideologi yang muncul dalam setiap film-film yang diproduksi Watchdoc.
Menurut Edy, ideologi Watchdoc akan banyak memihak kepada masyarakat tertindas, terutama mereka yang tidak mendapatkan haknya. Yakni kaum marginal dalam perspektif humanity. Sehingga film tersebut diharapkan menghadirkan perubahan nyata terhadap sikap penontonnya.
Sebagai informasi, sektor agraria adalah salah satu sektor yang sering memicu konflik di Indonesia. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, dari tahun 2015 – 2022, terjadi sedikitnya 2701 konflik agraria di berbagai daerah di Indonesia. Dari jumlah itu 1934 orang dikriminalisasi, 814 dianiaya, 78 orang tertembak, dan 69 orang di antaranya tewas. Konflik agraria ini meliputi tanah seluas hampir 6 juta hektar dan mencakup lebih dari 1,7 juta keluarga.
Jika dirunut, konflik agraria ini memiliki akar sejarah yang sangat jauh hingga era kolonial Eropa terutama saat Kerajaan Belanda menjajah Indonesia. Tahun 1870, pemerintah Kerajaan Belanda memberlakukan Agrarische Wet atau Undang-Undang Pertanahan yang salah satunya mengatur tentang Domein Verklaring atau deklarasi domain/wilayah. Artinya wilayah Indonesia yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya menjadi milik negara.
Sejak itulah sebagian besar tanah di Indonesia menjadi Pemerintah Belanda. Sayangnya setelah Indonesia merdeka tahun 1945, tidak dilakukan perubahan mendasar tentang aturan pertanahan ini sehingga konflik agraria terus belanjut sampai saat ini.